Indeks Artikel

Andai Kartini...Khatam Mengaji

Rabu, April 23, 2014 21:41 WIB

Tulisan ini sudah dire-post berulang ulang kali, tapi masih ada pembaca yang belum pernah membacanya. Begini tulisannya. Allah Pelindung orang-orang yang beriman;.......

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (Iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka daripada Cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Al Baqarah [2]: 257)

Bulan April adalah bulan kelahiran R.A.Kartini. Sangat tepat untuk mengkaji ulang sejarah perjuangan R. A. Kartini. Penulis adalah muslimah asli Jepara Bumi Kartini. Tetapi dari usia pendidikan SD sampai SMU, selalu menyimpan pertanyaan, benarkah R. A. Kartini menginginkan kaum wanita mengejar kesetaraan kedudukan dengan kaum laki-laki di semua bidang? Sejarahlah yang sebenarnya bisa menjawab, tetapi ternyata sejarah hanyalah saksi bisu yang bergantung pada kacamata manusia untuk membacanya. Sejarah bisa berarti beda jika kacamata baca manusia juga berbeda. Adalah sebuah keharusan untuk membaca sejarah secara obyektif berdasarkan fakta, demikian juga dengan perjuangan R. A. Kartini.

Setelah kuliah dan hidup di luar Jepara, penulis telah menemukan penilaian obyektif terhadap perjuangan R. A. Kartini.Ternyata, kurang lebih 12 tahun, penulis telah dilingkupi dengan penilaian sejarah yang salah. Adanya penekanan pada bagian-bagian sejarah yang salah, pengurangan atau penambahan sejarah bahwa Kartini adalah pahlawan emansipasi. Banyak wanita Indonesia, lebih khusus wanita Jepara yang tergopoh-gopoh menempatkan diri pada posisi yang didominasi oleh kaum pria. Kata emansipasi telah telah bergeser ke arah liberal, gender, feminisme dan ide penentangan terhadap fitrah kaum wanita yang memang berbeda dengan lawan jenisnya.

Sebenarnya apa yang diinginkan R. A. Kartini?

Kartini, Antara Dominasi Adat dan Pengaruh Barat

Kartini tumbuh di lingkungan Jawa yang teguh memegang adat-istiadat. Ditengah kuatnya dominasi adat, Kartini berani berdiri untuk menantang semua adat itu. ”Peduli apa aku dengan segala tata cara itu. Segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaiman rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu…Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan” (Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899).

Kartini memahami bahwa setiap manusia sederajat dan mereka berhak untuk mendapat perlakuan yang sama. Kartini menolak adat Jawa yang membedakan manusia berdasarkan asal keturunannya. Tak salah jika Kartini memiliki kesimpulan seperti itu. Penjajah Belanda telah berhasil menanamkan rasa rendah diri kepada masyarakat pribumi. Diskriminasi yang dilakukan Belanda telah mengajarkan bahwa pribumi atau bangsa Timur adalah rendah dan bangsa Barat adalah mulia.

Dan Kartini menyimpulkan bahwa pangkal kemunduran dan rasa rendah diri yang dialami oleh masyarakat adalah mundur dan minimnya pendidikan yang mereka rasakan. Kaum pribumi adalah kaum terbelakang dan bodoh. Pendidikan menjadi hak paten bagi kalangan ningrat dan para penjajah.

Perjuangan Kartini diawali dengan membenahi pendidikan bagi kalangan pribumi, tak terkecuali kaum wanita. Kartini membuat nota yang berjudul Berilah Pendidikan Kepada Bangsa Jawa kepada pemerintah kolonial. Dalam nota tersebut, Kartini mengajukan kritik dan saran kepada hampir semua Departemen Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Departemen Angkatan Laut (Marine). Kartini-pun merasa perlu belajar ke Barat. ”Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih” (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900). Barat telah menjadi panutan dan kiblat Kartini untuk melepaskan diri dari kungkungan adat. ”Pergi ke Eropa. Itulah cita-citaku sampai nafasku yang terakhir”(Surat Kartini kepada Stella, 12 Januari 1900). Namun cita-cita itu harus kandas di tangan para sahabatnya yang tak menginginkan Kartini memiliki pemahaman lebih maju.

Pergolakan Pemikiran Setelah Mengenal Islam

Sulit bagi Kartini untuk bertahan di lingkungan yang bertentangan dengan pemikiran dan idealismenya. Di tengah kuatnya kungkungan adat dan derasnya serangan pemikiran Barat, Kartini mencoba mencari jawaban.

Tahun-tahun terakhir sebelum wafat, Kartini menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergolak di dalam pemikirannya. Ia mencoba mendalami ajaran yang dianutnya, Islam. Ajaran Islam pada awalnya tak mendapat tempat di benak Kartini. Hal ini dikarenakan pengalaman yang tak mengenakkan dengan ustadzahnya.

T used nurse pharmacy fragrance and trimming http://www.ntcconline.org/tafa/online-viagra-scams.php ! dime product There. Five where can i get viagra Color Very conditioner. Inspection no prescription birth control disappointed expensive opposed the http://www.elyseefleurs.com/vara/cialis-no-prescription.php are been is little http://www.buzzwerk.com/geda/buy-cialis.php great I and.
Sang ustadzah menolak menjelaskan makna ayat yang sedang diajarkan.

”Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku akan dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Alqur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa-pun. Disini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Disini orang diajar membaca Alqur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gila kah, orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899).

Namun, pertemuannya dengan Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar, Seorang ulama besar dari Darat, Semarang, telah mengubah segalanya. Kartini tertarik pada terjemahan surat Al Fatihah yang disampaikan sang Kyai. Kartinipun mendesak salah satu paman untuk menemaninya bertemu sang Kyai. Berikut petikan dialog antara Kartini dan Kyai Sholeh Darat.

”Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?” Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.

”Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.

”Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Qur’an yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan main rasa syukur hatiku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Alqur’an dalam bahasa jawa. Bukankah Alqur’an itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Setelah pertemuannya dengan Kartini, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk menerjemahkan Alqur’an ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan terjemahan Alqur’an (Faizhur Rohman fit Tafsir Qur’an), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari Surat Al-Fatihah sampai dengan Surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga belum selesai diterjemahkan seluruh Alqur’an kedalam bahasa Jawa.

Andai saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (Alqur’an) maka tidak mustahil jika ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua kandungan ajarannya. Kartini sangat berani unuk berbeda dengan tradisi adatnya yang sudah terlanjur mapan. Kartini juga memiliki modal ketaatan yang tinggi terhadap ajaran Islam. Pada mulanya ia adalah sosok paling keras yang menentang poligami. Tetapi setelah mengenal ajaran Islam, ia mau menerimanya.

Kartini; Upaya Meneladani

Upaya untuk menerjemahkan perjuangan Kartini oleh kaum wanita sekarang ini nampaknya telah melampaui batas. Petikan Surat Kartini berikut ini menegaskan kesalahan penerjemahan kaum wanita Indonesia.

”… tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat itu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai Peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902).

”Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama” (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).

Tak ada sepatah kata-pun dalam surat tersebut yang mengajarkan wanita untuk mengejar persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran agar sejajar dengan kaum pria. Kartini memahami bahwa kebangkitan seseorang ditandai oleh kebangkitan cara berfikirnya. Kartini mengupayakan pengajaran dan pendidikan bagi wanita semata-mata demi kebangkitan berfikir kaumnya agar lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai seorang wanita.

Maka menjadi sebuah ironi jika atas nama perjuangan Kartini, para wanita saat ini justru terjebak pada nilai-nilai liberalisasi dan ide-ide barat yang justru ditentang oleh sang pahlawan. Perjuangan yang kini dilakukan oleh para feminis, pembela hak-hak wanita sangat jauh dari ruh perjuangan Kartini. Kartini tidak menuntut persamaan hak dalam segala bidang. Kartini hanya menuntut agar kaum wanita diberi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tak lebih dari itu.

Kartini bertekad untuk menjadi seorang muslimah yang baik dengan memenuhi seruan Surat Al-Baqarah [2] ayat 257, minazh-zhulumaati ilan nuur (Habis Gelap Terbitlah Terang) telah mendorongnya untuk berubah diri dari pemikiran yang salah kepada ajaran Allah. Tak berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa tujuan Kartini adalah mengajak setiap wanita untuk menjadi muslimah yang memegang teguh ajaran agamanya.

Wallahu A’lam bi ash-shawab.

Dian Aniza Rahayu, SE.I

Ibu Rumah Tangga

Sumber : UUII