Indeks Artikel

Tari Eja-Eja Dari Masyarakat Tomia Wakatobi

Sabtu, Oktober 17, 2015 16:26 WIB
Suku Dunia ~ Kabupaten Wakatobi dikenal sebagai surga bagi para penggemar wisata bahari. Bagaimana tidak, hampir 90 persen spesies karang laut dunia ada di Taman Nasional Wakatobi. Namun, Wakatobi tak hanya mengandalkan surga nyata di bawah laut saja, beragam wisata budaya pun masih dipelihara dan dilestarikan hingga saat ini. 

sumber gambar : lostpacker.com
Sebut saja tarian Eja-Eja. Budaya yang satu ini merupakan khas tarian yang hanya ada di Pulau Tomia Kabupaten Wakatobi. Tarian yang biasa juga disebut sebagai tari Sajo Moane ini biasanya dilakoni oleh 20 orang anak sekolah dasar. Sajo Moane memiliki arti bahwa yang memainkan tarian ini harus laki-laki. Sama halnya dengan tarian yang lain, sajo moane juga diiringi dengan musik khas dari gendang.

Konon kabarnya, Tari Sajo Moane atau Eja-Eja awalnya dipersembahkan kepada para perantau dari Sulawesi Selatan yang melakukan perjalanan ke Australia, tapi kapal yang ditumpanginya terdampar di Pulau Lente'a yang ada di depan Pulau Tomia. Para penumpang kapal ini akhirnya mendatangi pulau Tomia yang melewati daerah yang disebut Sokko'a yang ada di Tomia Timur tepatnya di desa Timu.

Mengingat para perantau ini dari luar daerah Tomia, maka disambutlaj mereka dengan Tarian Sajo Moane. Dalam tarian ini menurut ceritanya, lebih banyak bahasa Bugis dalam lirik lagunya yang dipadu padankan dengan bahasa daerah Tomia. Para penari dituntut harus tampil gagah berani dan memperlihatkan raut wajah yang ceria serta lekukan tubuh yang perkasa.

Sebagai daerah yang memiliki tanah yang tandus, masyarakat Pulau Tomia harus merantau ke daerah lain untuk mencari nafkah. Oleh karena itu, perantau harus punya bekal yang kuat agar tidak terjebak di rantauan dengan selalu mengingat untuk kembali ke Tomia membawa hasil usahanya dari luar. Semangat juanglah yang menjadi andalan untuk selalu bertahan di daerah lain. Sehingga tarian ini disebut sebagai simbol dari masyarakat Tomia. Tarian ini menunjukkan heroik yang melambangkan semangatnya masyarakat Tomia. Bahwa masyarakat Tomia itu memiliki semangat juang yang tinggi saat merantau di negeri orang. Semangat dari segala aspek ini ditunjukkan melalui aspek ini.

Dilakukan Oleh Anak-Anak Berenergi

Ada juga yang menyebut Tari Sajo Moane atau Tari Eja-Eja sebagai tari perang. Hal ini dikarenakan para penari menggunakan parang yang terbuat dari kayu sebagai senjata dalam permainan peperangan. Tarian ini hanya ada di Tomia karena konon, hanya masyarakat Tomia lah yang gemar berperang. Tarian ini dimainkan oleh anak-anak yang berenergi, sebab jika dimainkan oleh pria dewasa, makna dari tarian ini akan terlihat berbeda.

Anak-anak yang memainkan tarian ini pun dituntut harus kuat dan perkasa, sebab dalam tarian ini memunculkan sisi heroik dengan teriakan keras dari para pemain serta adu parang di arena tarian. Tari Sajo Moane sangat cocok diperankan oleh anak-anak generasi ini masih punya semangat tinggi dan tubuh yang kuat.

Sama halnya dengan tarian yang lain, Tari Eja-Eja juga diiringi dengan musik khas dari gendang. Selayaknya pria yang siap berperang, masing-masing penari dibekali sebuah parang sebagai senjata dan papan kayu sebagai tameng. Warna pakaian yang mencolok dipadukan dengan warna gelap menandakan bahwa para penari yang gagah berani ini siap bertarung dimana pun berada. Jika sewaktu-waktu lawan menyerang, parang tersebut kemudian baru bisa digunakan. Namun, makna sesungguhnya tarian ini bukan mengajarkan anak berperang melainkan bahwa Sajo Moane merupakan simbol dari masyarakat Tomia yang berani dan penuh semangat.

Di tengah proses tarian, akan ditampilkan peperangan yang mana masing-masing penari mencabut parang. Dua orang penari akan berlaga di dalam arena yang sudah dikelilingi oleh teman penarinya yang lain. Disinilah puncak dari tarian ini, layaknya bermain silat, namun kedua petarung mengandalkan parang untuk menjatuhkan lawan.

Sumber : Koran Harian Kendari Pos