Indeks Artikel

Sejarah Suku Auyu

Kamis, Desember 31, 2015 16:45 WIB
Suku Dunia ~ Suku Auyu atau orang Auyu berdiam diantara sungai Digul, termasuk Kabupatan Merauke, Provinsi Papua Barat. Mereka tersebar dalam wilayah Kecamatan Pantai Kasuari, Kuoh, Mandobo. Daerah ini penuh dengan hutan dan rawa, serta disana-sini terdapat padang rumput. 


Kelompok ini mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Auyu dengan jumlah penutur sekitar 18.000 orang. Termasuk ke dalam kelompok bahasa ini ialah bahasa Oser, Jenimu, Pisa, Wefu, dan Iwkero. Orang Auyu bertetangga dengan orang Asmat di sebelah utara, orang Citak di sebelah timur, dan orang Yaqai di selatannya.

Dahulu orang Auyu dikenal hidup mengembara, tetapi setelah dirangkul oleh penyebar agama Katolik. Kebiasaan itu berubah dan mereka pun tingga di pemukiman-pemukiman tetap.

Mata pencaharian orang Auyu adalah berburu dan menokok sagu. Makanan pokok mereka adalah sagu dan ditunjang dengan ikan dan  daging. Sagu dan ikan dicari oleh kaum perempuan, sedangkan daging adalah hasil perburuan kaum laki-laki. Sehubungan dengan kegiatan berburu ada suatu permainan di kalangan anak laki-laki yang disebut amiogo. Permainan ini berfungsi melatih anak-anak dalam menggunakan busur dan anak panah, yang kelak sesudah dewasa akan digunakannya dalam berburu untuk menyangga kehidupan.

Orang Auyu mengenal sistem klan yang disebut kerel. Keberadaan klan iti dijaga dan dipertahankan oleh kaum laki-laki. Sebuah klan dapat dipertahankan melalui perkawinan atau perang. Melalui perkawinan, klan dapat diperbesar, sedangkan dengan perang klan itu dipertahankan dari kemusnahannya atau untuk tidak diperbudak oleh klan atau kelompok etnik lain. Itulah sebabnya budaya mereka mengenal permainan bukhose khave, suatu permainan yang biasa dilakukan oleh anak laki-laki. Nama permainan itu secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai "permainan lengkuas", dimana alat permainan ini dibuat dari batang lengkuas hutan dengan cara menombakkannya ke pihak lawan.

Dalam permainan ini anak-anak itu mengindentifikasi diri sebagai kepala perang klannya yang disebut poghoi, seperti poghoi pada zaman nenek moyangnya yang membuat peristiwa-peristiwa heroik dalam sejarah kelompok atau klannya. Mereka ingin sama seperti kepala perang generasi nenek moyangnya yang dipandang amat ksatria itu.

Dalam lapangan kesenian mereka mengenal semacam seni drama sebagai bagian dari upacara-upacara. Ekspresi keindahan dituangkan dalam seni rupa dimana mereka mahir dalam membuat perisai-perisai untuk tarian. Motif hiasan pada perisai itu tampak unsur motif mata, huruf V yang ikal serta pilin berganda atau meander. Perisai itu diberi warna putih sebagai warna dasar, bingkai ragam hias itu berwarna hitam, dan salurannya berwarna merah padam.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa