Indeks Artikel

Sejarah Suku Kamoro

Minggu, April 17, 2016 01:43 WIB
Suku Dunia ~ Kamoro adalah salah satu kelompok etnik, penduduk, asal di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, mereka berdiam di sekitar aliran sungai Opa dan sungai Mukamuga, teluk Etna, di pantai selatan Papua Barat itu. Desa-desa tempat pemukiman mereka antara lain di desa Torja, Middle, Kamoro, Western, Wania, dan Mukamuga. Desa-desa itu merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Mimika Timur dan Mimika Barat.


Pada tahun 1986 jumlah penduduk Kecamatan Mimika Timur adalah 16.305 jiwa dan kecamatan Mimika Barat 6.743 jiwa, di antara 75.766 jiwa penduduk Kabupaten Fakfak. Pada tahun 1990 penduduk Kabupaten ini telah menjadi 88.488 jiwa. Jumlah orang Kamoro sendiri diperkirakan sekitar 8.000 jiwa, sekaligus penutur bahasa yang disebut bahasa Kamoro. Ciri-ciri fisik orang Kamoro, misalnya tinggi badan rata-rata 164,4 sentimeter dan bentuk kepala dolichocephal.

Orang Kamoro dikenal sebagai masyarakat yang memiliki keterampilan dalam membuat seni ukir atau patung. Hasil karya mereka terkesan lebih abstrak dibandikan dengan karya-karya orang Asmat. Ekspresi seni dituangkan misalnya pada tongkat (ote-kapa) dengan motif sirip ikan (eraka waiti), latau tulang sayap kelelawar (tako-ema). Ini berarti bahwa pemilik tongkat yang membuat motif itu percaya berasal dari ikan atau kelelawar. Orang yang tidak bisa mengukir, maka ia dapat memesan motif tertentu sesuai dengan asal usulnya kepada seorang pengukir. Baca juga Sejarah Suku Asmat

Motif lain adalah "ruas tulang belakang" (uema) yang diartikan bisa tulang belakang manusia, ikan atau unggas. Orang Kamoro berpendapat bahwa ruas tulang belakang itu merupakan lambang kehidupan. Motif awan putih berarak (uturu tani) yang dapat menimbulkan macam-macam imajinasi, baik pada diri pengukir, pemilik atau siapa pun yang melihatnya. Imajinasi itu bisa menyangkut kerinduan pada kampung halaman, kekasih yang sudah tiada, ingatan terhadap peristiwa gempa bumi, dan lain-lain. Motif kepala manusia (upau) juga motif yang menimbulkan kenangan kepada seseorang yang dicintai yang telah tiasa, misalnya nenek moyang, orang tua, anak istri. Motif ini boleh dimiliki oleh siapa saja karena bersifat netral.

Ukiran khas Kamoro yang menjadi dasar dari semua ukiran yang dibuat dalam berbagai variasi disebut mbitoro, yang ditemukan hampir semua motif. Motif-motif itu adalah ruas tulang belakang (uema), awan putih berarak (uturu tani), ekor kuskus pohon (wakwn bipi), lidah biawak (oke-mbare), kepala manusia (upau), kepala ular (apako upau), insang ikan (ereka kenemu), tulang ikan (ema), perapian (utuwau). Motif ukiran mbitoro mempunyai latar belakang sebuah legenda. Kalau pada masa kemudian terjadi perubahan pada unsur motif itu, mereka mempertanggung jawabkan mengapa ada unsur yang harus dipertahankan, dan mengapa ada unsur yang boleh dihilangkan.

Mereka juga telah sejak zaman nenek moyang mengenal sejenis piring (pekaro) yang dibuat dari kayu yang ringan agar mudah dibawa. Piring itu berpenampang lonjong menyerupai bentuk seekor penyu. Pada kedua sudut elipsnya, masing-masing diukir motif kepala burung enggang (komai mbiriti) dan motif kepala kura-kura (mbiamu upau). Motif burung enggang melambangkan kehidupan dan keberuntungan serta umur panjang. Karenanya motif ini juga dibuat pada haluan perahu dan gagang tombak. Motif kura-kura untuk membangkitkan selera makan.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa