Indeks Artikel

Sejarah Suku Dayak Kantuk

Kamis, Juli 21, 2016 09:18 WIB
Suku Dunia ~ Kantuk adalah salah satu kelompok orang Dayak yang berdiam dalam wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Dalam Kabupaten tersebut mereka lebih terkonsentrasi di wilayah Kecamatan Nanga Kantuk, yang berada di sekitar anak-anak sungai di bagian Hulu Sungai Kapuas. Sumber lain menyebutkan bahwa orang Kantuk ini ada pula yang bermukim dalam wilayah Kecamatan Semitau. Lingkungannya merupakan hutan primer dan hutan sekunder.


Orang Dayak Kantuk ini memiliki bahasa tersendiri yaitu bahasa Kantuk. Belum diperoleh informasi berapa jumlah penutur bahasa ini. Bila orang Kantuk bermukim di kedua kecamatan tersebut di atas, maka mereka berada misalnya di antara 4.900 jiwa penduduk Kecamatan Nanga Kantuk dan 9.198 jiwa penduduk Kecamatan Semitau tahun 1982.

Mereka tinggal berkelompok dalam suatu rumah panjang (rumah tegoh). Rumah panjang ini dengan struktur multi keluarga permanen terletak di pusat wilayah pemukiman. Selain itu ada gubuk di ladang yang merupakan tempat tinggal sementara keluarga tunggal, tersebar di seluruh wilayah dekat perladangan masing-masing. Gubuk ladang ini dipakai sekitar dua atau tiga tahun selama masa sibuk, sedangkan rumah panjang dihuni sampai 20 tahun atau lebih, sesudah senggang dengan pekerjaan di ladang. Selain rumah tegoh ada lagi rumah panjang lain yang disebut dampa yang lebih kecil dengan muatan keluarga yang lebih sedikit pula dengan konstruksi yang lebih sederhana.

Rumah panjang orang Kantuk pada keadaan 1976, seperti yang diteliti oleh Dove (1985) di Kulit Tuba, memperlihatkan struktur semacam berikut ini. Rumah ini mempunyai bagian-bagian:
  1. Tempat menjemur yang terbuka sepanjang rumah.
  2. Ruang tertutup, yang juga sepanjang rumah, yang dibagi menjadi jalan pintas dan ruang kerja.
  3. Deretan sembilan bilek sebagai tempat kediaman yang tertutup.
  4. Rangkaian rumah dapur yang dicantolkan pada bagian belakang masing-masing bilek.
  5. Sederetan tempat menyimpan yang dibangun di atas bilek dan ruang di depannya.
Rumah ini mempunyai konstruksi yang baik. Tiang-tiang merupakan kayu yang kokoh dan besar. Tiang tegak lurus dan balok yang mendatar disambung dengan menggunakan pasak. Tempat penjemuran sebagian besar diberi berlantai bambu, tetapi ruang terbuka, bilek, dapur, dan tempat penyimpanan, terbuat dari lantai kayu keras. Dinding bagian dalam terbuat dari kulit kayu yang agak tipis. Atap terbuat dari kayu sirap yang kuat. Pembangunannya memakan waktu dua tahun kerja. Sebagian pembangunan dikerjakan sendiri oleh masing-masing keluarga di bagian yang akan menjadi miliknya dan bahayanya pun sesuai dengan pilihan sendiri. Sebagian pekerjaan yang berat dikerjakan secara bergotong-royong. Meskipun setiap bagian itu menjadi milik dan tanggung jawab keluarga masing-masing, namun ada bagian yang dirawat bersama, misalnya tangga, jembatan ke arah sungai, dan lain-lain.

Dalam rumah panjang itu dikenal adanya tokoh-tokoh yang berperan menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara mereka. Oleh pemerintah ditentukan adanya kepala kampung dan pembantunya (kebayan). Selain itu ada pun rumah, yaitu keluarga yang memegang tongkat peramal ketika rumah panjang itu dibuat, keluarga paling tua (bilek tua) dan duku (nanang). Namun, orang Kantuk memiliki egalitarisme yang kuat, sehingga wewenang seseorang atau keluarga tertentu relatif kecil. Yang lebih penting adalah wewenang keseluruhan warga rumah panjang itu.

Apabila ada masalah penting atau pertikaian, rapat diadakan di ruang terbuka. Semua pria dewasa wajib datang, para wanita tetap berada dalam bilek masing-masing. Akan tetapi, mereka bisa ikut berpartisipasi dengan meneriakkan pendapat dari bilek atau muncul sejenak ke serambi. Pihak yang bertikai bisa didesak menerima keputusan rapat tetapi keputusan itu tidak dipaksakan. Diantara yang bertikai itu bisa menolak keputusan tersebut, dan mencari penyelesaian dengan cara lain, namun apabila terjadi pelanggaran ritual penting yang dilakukan oleh individu atau keluarga akan ada hukuman dari dewa-dewi bagi keseluruhan rumah panjang itu. Untuk itu pengadilan rumah panjang mengharuskan pihak yang bersalah mengorbankan seekor babi atau lebih kepada dewa-dewi.

Pada masa sekarang ini jumlah rumah panjang itu sudah semakin berkurang. Mereka membuat rumah-rumah tunggal yang dihuni oleh satu rumah tangga. Dengan perubahan ini kita tetap mencatat pendapat sementara ahli (Dove, 1985) yang menyatakan bahwa bentuk dan organisasi rumah panjang mengandung suatu fungsi simbolis dan penting dalam kerja sama ekonomi orang Kantuk. Bagi mereka rumah panjang mencerminkan dan melambangkan ikatan dan kewajiban sosial antar keluarga yang merupakan dasar kerja sama. Kelansungan lambang ini merupakan hal yang amat penting bagi penggalangan kerja sama di antara mereka yang berdiri sendiri.

Ekonomi orang Kantuk merupakan ekonomi ganda. Artinya untuk makan mereka menanam padi dan sayur mayur di ladang, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti garam, pakaian, tembakau, minyak tanah, mereka berdagang, menyadap karet dan menanam lada. Berburu, menangkap ikan, dan mengumpulkan hasil hutan merupakan pekerjaan sambilan.

Dalam kegiatan perladangan ada pemakaian tenaga kerja dari luar keluarga. Bantuan itu biasanya diperlukan dalam rangka menebas, menebang, menanam, menyiangi, panen, dan mengangkut hasil panen. Macam kegiatan dalam siklus kerja di ladang yang tidak dimintai bantuan misalnya memilih lokasi, membakar, dan menjaga tanaman. Tenaga kerja dari keluarga lain diperoleh dengan cara yang disebut bertolong. Cara ini tidak mengharapkan balasan atau penggantian dari keluarga satu terhadap keluarga lain, karena tiba-tiba menghadapi suatu pekerjaan berat. Cara berimpoh bersifat saling berbalasan dimana semua keluarga rumah panjang ikut mengerjakan pekerjaan satu keluarga sampai tuntas dan diteruskan pada keluarga yang lain dan seterusnya. Cara ketiga adalah bedurok dimana tenaga kerja itu diganti secara ketat berdasarkan hari kerja. Kompensasi yang lebih ketat lagi ditemukan pada cara bekuli yang imbalannya upah berupa padi atau uang per-hari.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa