Indeks Artikel

Sejarah Suku Laut

Senin, Desember 19, 2016 13:12 WIB
Suku Dunia ~ Orang Laut terdiri atas kelompok-kelompok sosial yang berdiam di berbagai kawasan perairan Indonesia, seperti di perairan sekitar pulau Sumatera bagian timur, Kalimantan, Sulawesi, Flores, bahkan ada yang mengembara sampai ke perairan Malaysia dan Filipina. Orang Laut biasa juga dinamakan Suku Laut. Pada berbagai kawasan perairan tersebut subkelompok orang Laut disebut orang Bajau atau Bajo, orang Muara, dan orang Ameng Sewang.


Dilihat dari latar belakang asal-usul mereka, para ahli mengkategorikan orang Laut sebagai sisa turunan nenek moyang bangsa Indonesia yang datang bermigrasi dari daratan Benua Asia sekitar tahun 2500-1500 SM. Mereka tergolong sebagai Melayu (Malayan Mongoloid). Pada masa itu mereka merupakan pendukung kebudayaan batu baru (neolithicum). Bahasa yang mereka gunakan merupakan suatu dialek bahasa Melayu. Contoh kata dialek orang Laut (Bajau) di Jambi adalah mando (mandi), nosi (nasi), koyu (kayu), dan lain-lain.

Jumlah keseluruhan orang Laut tidak dapat lagi diketahui secara pasti. Berbagai sumber menunjukkan angka-angka yang bervariasi. Jumlah orang Laut di Kepulauan Riau berdasarkan hasil penelitian Universitas Riau tahun 1977 sebesar 3.500 jiwa atau 577 kepala keluarga. Data lain menunjukkan jumlah orang Laut pada tahun 1981 sebesar 2.894 jiwa, yakni yang berdiam di Kecamatan Rateh dan Kecamatan Mandah, Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kecamatan Tambelan, Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau.

Orang Laut yang berdiam di pesisir Pulau Belitung disebut orang Ameng Sewang. Mereka berdiam di wilayah Kecamatan Tanjung Pandan, Kecamatan Membalong, Kecamatan Manggar, dan Kecamatan Gantung, di Provinsi Bangka Belitung. Jumlah mereka pada tahun 1950-an diperkirakan sekitar 1.000 kepala keluarga. Pada tahun 1980 jumlahnya menjadi 150 kepala keluarga dengan jumlah keseluruhan sekitar 500 jiwa. Direktorat Bina Masyarakat Terasing Departemen Sosial mencatat jumlah orang Ameng Sewang di daerah Belitung hanya 115 kepala keluarga.

Jumlah orang Laut pada umumnya tampak semakin menyusut, karena sistem pengetahuan mereka masih sederhana, sehingga mereka tidak mampu menjawab tantangan alam keras di sekitar lingkungan hidup mereka. Hasil penelitian Universitas Riau tahun 1977 menunjukkan angka kematian orang Laut di Provinsi itu sebanyak 11 persen. Angka kematian yang tinggi itu, antara lain, disebabkan oleh penyakit seperti malaria dan muntah-berak.

Kelompok orang Ameng Sewang kiranya dapat menjadi salah satu contoh untuk mengenali pola kehidupan sosial budaya orang Laut secara keseluruhan. Sumber kepustakaan lama menunjukkan bahwa mereka telah berabad-abad lamanya menghuni laut dan pulau-pulau kecil di sekitar pulau Bangka Belitung. Ketika pada tahun 1668 kapal Belanda mendarat di Pulau Belitung, para awak kapal mendapat serangan orang Ameng Sewang. Ini menunjukkan bahwa di masa lalu mereka pernah mempunyai kekuatan yang cukup berarti.
Lingkungan alam mereka adalah laut diantara pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Belitung. Kawasan ini berada diantara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, yang sepanjang tahun menjadi arena peralihan musim yang kadang-kadang terasa sangat ganas bagi mereka. Lingkungan dan tantangan yang demikian harus mereka hadapi dengan teknologi dan sistem pengetahuan mereka yang masih sederhana. Musim barat yang garang menyebabkan mereka harus berhenti mencari nafkah di laut. Kadang-kadang mereka harus mengungsi ke pulau-pulau tertentu selama beberapa bulan.

Sebagian kecil siklus hidup orang laut berada di laut, di atas perahu (kolek). Perahu adalah "rumah" dan arena tempat melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Di luar musim ikan mereka menetap untuk sementara di sekitar pantai, hidup dalam perahu atau gubuk yang bersifat sementara. Mereka berada di darat rata-rata sekitar dua bulan dalam satu tahunnya. Sebuah perahu didiami oleh satu keluarga inti dengan anak-anak yang biasanya berjumlah kecil. Satu keluarga yang pernah melahirkan enam orang anak sudah merasa bersyukur, apabila dua saja diantaranya hidup. Satu perahu kadang-kadang didiami oleh keluarga luas, yaitu suatu keluarga inti bersama orang tuanya yang sudah berusia lanjut. Anak-anak mereka yang sudah remaja biasanya berdiam di perahu tersendiri dengan anak remaja dari keluarga kerabat lain. Prinsip keturunannya patrilineal dengan adat menetap sesudah nikah patrilokal.

Dalam lintasan hidup individu orang Laut, masa hamil seorang wanita merupakan masa yang penuh kebimbangan dan ketegangan. Pada masa ini ada beberapa pantangan. Orang yang sedang hamil tidak boleh keluar dari perahu atau rumahnya pada saat tengah hari, menjelang senja, dan tengah malam. Pada saat itu, mereka percaya setan akan datang mengganggu. Pada masa itu juga dilarang memukul, menyakiti, dan membunuh binatang. Seorang ibu melahirkan anak di atas perahu dengan bantuan dukun beranak (tengguling). Perahu tempat melahirkan itu harus dilepas dari segala ikatannya, namun perahu lainnya harus ada di sekitarnya. Dengan demikian mereka percaya kelahiran akan menjadi lebih mudah. 

Apabila ada kematian, mayat segera dimandikan berturut-turut dengan air pasir, air daun jeruk nipis atau jeruk purut, dan terakhir dengan air bersih. Mayat juga diberi kafan. Sebelum mayat dimasukkan ke dalam liang lahat, ada orang yang terlebih dahulu masuk ke liang lahat itu untuk menyampaikan pesan sang mayat kepada malaikat Nungka Wanangkir. Dalam cara penguburan itu tampak adanya pengaruh Islam. Pada masa ini sebagian besar orang Laut sudah memeluk agama Islam.

Orang Laut mengenal beberapa jenis kesenian dalam wujud seni tari dan seni suara. Hampir semua nyanyian dan tarian mereka bersifat gembira. Di antara tarian yang dikenal adalah tarian hujung dan ketimpang-burung. Tarian hujung merupakan tarian muda-mudi yang menggambarkan kaum laki-laki sedang menangkap ikan duyung. Tarian ketimpang-burung menggambarkan kegembiraan sambil berpantun bersahut-sahutan dalam bahasa melayu. Nyanyian ulah besin adalah nyanyian yang selalu ada dalam setiap upacara, guna mengusir setan dan memohon perlindungan kepada dewa dan arwah roh nenek moyang. Mereka juga sangat menggemari tarian semacam tari loget. Belakangan ini banyak pemudanya yang menari sambil minum bir, ciu, dan minuman keras lainnya sampai mabuk. Pasa masa lalu masyarakat ini memang sudah terbiasa minum tuak nira kelapa. Kebiasaan merokok menjadi kegemaran yang sudah dimulai sejak usia sangat muda.

Pihak pemerintah pernah berusaha memukimkan mereka dengan jalan menyediakan perumahan. Namun usaha ini belum berhasil karena pada musim menangkap ikan yang cukup lama rumah itu mereka tinggalkan. Mereka memang masih sukar berbaur dengan anggota masyarakat lain di sekitarnya, meskipun sudah biasa masuk ke kota Tanjung Pandan. Kawin campur dengan anggota masyarakat lain terhambat karena mereka masih berpegang teguh pada adat endogami kelompok sendiri dan kesetiaan pada adat itu masih cukup kuat.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa