Indeks Artikel

Sejarah Dan Kebudayaan Suku Mandar

Kamis, Mei 18, 2017 15:43 WIB
Suku Dunia - Mandar adalah suku bangsa yang terbilang penduduk asal di Provinsi Sulawesi Selatan, bersama dengan Toala, orang Bugis, Orang Makassar, dan orang Toraja. Wilayah asal orang Mandar adalah daerah yang sekarang merupakan wilayah administratif Mamuju, Sulawesi Barat. Kabupaten Mamuju dengan luas 11.605 terbagi atas enam kecamatan. Kabupaten ini berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah Utara, menghadap ke selat Makassar di sebelah baratnya. Hampir separuh (45 persen) wilayahnya merupakan pegunungan dengan puncak-puncaknya gunung Gandadiwata (3074 meter), gunung Tolondokalondo (2884 meter). Bagian lain adalah 35 persen perbukitan, 20 persen dataran. Wilayah ini juga dialiri sekitar 100 batang sungai. Curah hujan berkisar sekitar 1.750-2.500 milimeter pertahun. Kabupaten Mamuju berdampingan dengan Kabupaten Majene di selatan, yang juga menghadap selat Makassar di barat dan teluk Mandar di bagian selatan, dimana terletak kota Majene sebagai ibu kota Kabupaten.


Kabupaten yang luasnya 967,84 kilometer persegi itu terbagi atas empat kecamatan. Daerahnya berbukit-bukit dengan ketinggian antara 300-500 meter diatas permukaan laut. Daerah datar hanya dibagian selatan, di sekitar teluk Mandar tadi. Sebagian besar hutannya merupakan hutan lindung. Daerah ini juga dialiri oleh banyak sungai. Kabupaten Polmas yang luasnya 4.781,53 kilometer persegi terbagi atas sembilan kecamatan, juga menghadap teluk Mandar yang ada disebalah selatannya. Areal hutan merupakan bagian terluas (79 %) yang terbagi atas hutan lindung dan hutan produksi. Daerah ini juga dialiri banyak sungai dan sebagian sudah dimanfaatkan untuk irigasi dan pembangkit tenaga listrik.

Orang-orang yang mendiami Kabupaten Mamuju biasanya tidak mau disebut orang Mandar, dan lebih senang disebut orang Mamuju. Alasannya, antara lain, karena dalam hal bahasa mereka memiliki dialek sendiri. Namun, dilihat dari sudut budaya secara umum, kebudayaan Mandar dan Mamuju tidaklah sangat berbeda dengan kebudayaan Bugis, Makassar dan Toraja Sa'dan.

Ketiga Kabupaten tersebut merupakan daerah asal kediaman orang Mandar. Sejak permulaan abad ke-16 di daerah ini telah ada 14 kerajaan lokal, yang terbagi atas dua kelompok, yaitu Pitu Babbana Binanga dan Pitu Ulunna Salu, artinya tujuh kerajaan di muara sungai dan tujuh kerajaan di hulu sungai. Kelompok tujuh pertama terdiri atas Balanipa, Sendana, Majene, Pambuang, Tappalan, Binuang, dan Mamuju. Kelompok tujuh kedua meliputi Tabulahan, Rante Bulahan, Mambi, Bambang, Matangnga, Aralla, dan Tabang. Dalam satu pertemuan di Luyo, Kabupaten Polmas, ke-14 kerajaan tersebut membentuk suatu konfederasi yang melahirkan sipamandar ("saling memperkuat"). Sejak itu seluruh kerajaan tersebut dinamakan Mandar ("kuat").

Jumlah keseluruhan orang Mandar tidak dapat diketahui dengan pasti karena belum diperoleh sumber tertulis tentang itu kecuali berupa angka perkiraan. Jumlah orang Mandar diperkirakan sekitar 1/4 juta diantara penduduk ketiga Kabupaten Polmas, Mamuju, Majene yang berjumlah 462.299.

Mereka menggunakan bahasa Mandar dengan beberapa dialek yang masih terbagi atas beberapa subdialek atau varian, yaitu (1) dialek Balanipa dengan varian seperti Lapeo, Pambusuang, Napo, Karama, Tandung, Todang-todang. Dialek ini digunakan oleh orang Mandar yang mendiami Kabupaten Polmas, (2) dialek Majene atau Banggae dengan varian seperti Pangale Barane, Tangngatangnga, Tanjung Batu, Binanga, Salepa, Galung, Gusung, Salabose, Pangaliali, Baruga, Tande, Galung Parak, Camba, Pamboborang-Teppok, dan Ranggas Soreang. Dialek ini digunakan oleh sebagian besar penduduk Kabupaten Majene, (3) Dialek Pamboang, dengan varian seperti Mosso, Somba, Palipi, Palattoang, Tommerokdo, Malunda-Pasisir. Dialek ini dipakai oleh penduduk Kecamatan Pamboang, bagian pesisir kecamatan Malunda di Kabupaten Majene, (4) Dialek Awok Sumakengu yang terdapat di desa Onang di perbatasan Malunda.

Baca juga :
Sesuai dengan lingkungan alamnya yang bergunung-gunung dan sebagian bertautan dengan laut (Selat Makassar), mata pencaharian masyarakat Mandar adalah bertani dan menangkap ikan. Pertanian sawah pengairan teknis terdapat di Kabupaten Polmas, sedangkan di Kabupaten lainnya masih digunakan cara tradisional. Kabupaten Polmas dikenal sebagai gudang beras. Komoditi yang cukup penting dari daerah Mandar adalah kopra. Minyak dari Mandar ini berukuran standar minyak untuk pasaran luar negeri, dengan kadar air yang rendah dibandingkan dengan hasil produksi kelapa daerah lain di Indonesia. Pembuatan gula merah dari nira merupakan sumber penghasilan lain masyarakat daerah ini. Hasil produksi pangan lain dari ketiga Kabupaten ini adalah jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang hijau, kacang tanah, kedelai, sayur mayur, buah-buahan. Tanaman lainnya adalah kopi, cengkeh, coklat, jambu mete, kemiri, kapuk, vanili, dan lain-lain. Di luar bidang pertanian dikenal pertenunan tradisional sarung Mandar.

Seperti masyarakat lainnya, masyarakat Mandar pun mengenal pelapisan sosial. Sebagai masyarakat yang pernah berbentuk kerajaan. Mereka mengenal tiga lapisan sosial, yakni lapisan atas yang terdiri atas golongan bangsawan (Todiang Laiyana), golongan orang kebanyakan (Tau Maradika), dan lapisan budak (Batua). Golongan bangsawan memiliki gelar kebangsawanan, yaitu Daeng bagi "bangsawan raja" dan Puang bagi "bangsawan adat".

Sistem kepemimpinan pada masyarakat Mandar ditandai oleh beberapa periode, antara lain periode Tomakaka, ketika pemerintahan belum teratur, hukum belum ada, tata tertib tidak dilaksanakan, dan masih berlaku siapa kuat dia benar. Selanjutnya menyusul periode transisi (Pappuangang), yaitu ketika hubungan sosial dalam masyarakat mulai memperlihatkan polanya. Berikutnya berkembang periode yang sudah penuh dengan tata cara, aturan, nilai, yakni periode Arajang, pada permulaan abad ke-16. Raja pertama dalam periode ini adalah Todilaling, yang tampil sebagai pembina hukum adat dan peletak dasar kebudayaan Mandar. Pemerintahan raja ini dilanjutkan oleh anaknya, Tomeppayung, yang dianggap sebagai peletak dasar demokrasi bagi masyarakat Mandar.

Seperti yang dilukiskan oleh Myala (1987), raja tidak lagi berkuasa secara turun-temurun, akan tetapi dipilih oleh lembaga adat (hadat). Apabila raja baru diangkat, anggota lembaga adat akan menyampaikan: "Tuanlah yang akan menyayangi rakyat, tuanlah yang akan melindungi rakyat". Dan raja akan menjawab: "Demikianlah yang akan dilaksanakan, jika sudah menjadi kehendak seluruh rakyat". Sehubungan dengan sifat demokrsi orang Mandar, ada ungkapan yang terarah pada kekuasaan raja, yaitu: "Manakalah ombak tidak lagi memecah ke pantai, lesung tidak lagi berdentang, ayam tidak lagi berkokok, pinang tidak lagi berbunga, pepohonan hutan belantara tidak berdaun, gunung-gunung gundul, tanah menjadi lekang, rerumputan layu, pikullah tombak pusaka, selipkan keris pusaka di pinggang, miringkan ke kiri destar di kepala, dan lakukanlah adat kebiasaan leluhur, sesuai hukum dan tradisi."

Dalam tradisi Mandar, destar yang miring ke kiri bermakna isyarat bahwa raja harus mengoreksi diri dan kebijaksanaannya. Bila kaum adat datang beramai-ramai, dengan destar miring ke kiri dan bersenjatakan tombak serta keris, lewat di depan istana, hal itu mengisyaratkan agar raja mengundurkan diri dengan suka rela. Apabila raja tidak mau turun secara suka rela, raja akan diturunkan dengan kekerasan (dibunuh). Bila rakyat tidak mampu melakukannya dengan kekerasan, banyak rakyat akan merantau meninggalkan kampungnya. Menurut pandangan orang Mandar atau masyarakat di Sulawesi Selatan atau Sulawesi Barat umumnya, sejelek-jeleknya raja di dunia ialah raja yang ditinggalkan oleh rakyatnya.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa