Indeks Artikel

Sejarah Suku Damal

Senin, April 25, 2016 09:52 WIB
Suku Dunia ~ Damal adalah salah satu kelompok sosial yang berdiam di Kecamatan Booga dan Kecamatan Baga di lembah daerah Pegunungan Jayawijaya, Papua. Kedua kecamatan ini termasuk wilayah Kabupaten Panjai. Lembah ini dilalui dan seolah terbelah dua oleh aliran Sungai Ila (Ila Rong) yang bergerak dari timur ke barat. Sungai ini membelok ke utara sehingga bertemu dengan Sungai Beo (Beo Rong), terus menuju sungai Dallia dan selanjutnya ke Sungai Rouffair di utara Papua.
Ilustrasi Suku Damal
Di sekitar lembah ini masih terlihat adanya hutan-hutan lebat, tetapi di samping itu tampak pula daerah gundul yang ditumbuhi alang-alang dengan semak-semak tipis tanpa penahan tanah berupa kayu-kayu besar. Daerah gundul itu merupakan bekas ladang dengan sistem tebang bakar yang dilakukan oleh orang Damal dan orang Lani tetangganya. Di sana-sini memang tampak batu-batu runtuh dan tanah longsor. Daerah ini berketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut. Temperatur di Beoga sekitar 10-26 derajat Celcius, dan di Ilaga sekitar 6-21 derajat Celcius. Baca juga Sejarah Suku Kamoro

Bahasa Suku Damal

Orang Damal menyebut dirinya Damalme, kata me berarti "orang". Mereka mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa Damal. Bahasa ini termasuk keluarga bahasa Non-Austronesia, tidak seperti bahasa-bahasa orang di daerah pantai yang umumnya termasuk keluarga bahasa Austronesia. Di lembah Ilaga berdiam orang Lani yang menggunakan bahasa Lani.

Di antara mereka, baik orang Damal maupun orang Lani, ada yang menguasai kedua bahasa tersebut dalam berkomunikasi di antara mereka. Pada tahun 1971 orang Damal di Beoga berjumlah sekitar 4.000 jiwa, sedangkan di Ilaga berjumlah 1.500 jiwa. Pada tahun 1987 penduduk Kecamatan Beoga berjumlah 6.829 jiwa, dan penduduk Kecamatan Ilaga berjumlah 11.192 jiwa. Berapa orang Damal di antara jumlah tersebut tidak diketahui, karena di antara mereka sudah termasuk para pendatang dari kelompok etnik lain.

Sistem Kekerabatan Suku Damal

Dalam hal sistem kekerabatannya, orang Damal menganut prinsip patrilineal. Hal ini berarti mereka memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui pihak laki-laki saja, semua kaum kerabat ayah masuk di dalam batas kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibu jatuh di luar batas itu. Adat menetap sesudah nikah yang mereka amalkan adalah adat virilokal, artinya sepasang pengantin menetap di sekitar tempat kediaman kerabat suami.

Masyarakat Damal juga mengenal sistem paroh-masyarakat, yang lazim dikenal istilah motety. Paroh masyarakat Damal ini masing-masing bernama Mom dan Magaij. Dengan demikian keseluruhan anggota masyarakat Damal terbagi menjadi dua paroh masyarakat, setiap individu menjadi anggota Mom dan Magaij. pembagian dua ini tidak didasarkan kesatuan politik, tetapi berfungsi untuk mengatur perkawinan. Artinya, seseorang harus kawin atau mencari jodoh dari paroh-masyarakat yang berbeda, anggota Mom harus kawin dengan anggota dari Magaij. Adat demikian keseluruhan anggota masyarakat Damal terbagi menjadi dua paroh masyarakat, setiap individu menjadi anggota.

Mom atau Magaij. Pembagian dua ini tidak didasarkan kesatuan politik, tetapi berfungsi untuk mengatur perkawinan. Artinya, seseorang harus kawin atau mencari jodoh dari paroh-masyarakat yang berbeda, anggota Mom harus kawin dengan anggota-anggota dari Magaij. Adat ini biasa disebut juga dengan istilah exogamous moieties.

Setiap moiety terdiri atas sejumlah klen patrilineal, yaitu kelompok kerabat yang merasa satu keturunan nenek moyang yang masih dapat mereka telusuri. Setiap klen mempunyai nama tertentu, misalnya klen Alom, klen Wakerokwa, dan lain-lain. Di Beoga orang Damal mengenal 37 buah klen, dan di Ilaga ada delapan buah klen. Klen itu merupakan kesatuan sosial atau kesatuan politik, karena anggotanya tersebar di seluruh daerah. Akan tetapi apabila seseorang sedang melakukan perjalanan, ia dapat meminta batuan dari orang-orang seklennya. Setiap klen terbagi lagi atas kelompok-kelompok patrilineal yang lebih kecil. Anggota kelompok ini tersebar di seluruh lembah dengan jumlah anggota sampai 100 orang. Setiap anggota mempunyai kewajiban untuk saling tolong-menolong, misalnya untuk membayar mas kawin, mengganti kerugian, dan lain-lain, meskipun kelompok ini tidak pernah berkumpul seluruhnya.

Masyarakat Damal mengenal dan menyadari adanya suatu prinsip penting dalam kehidupan mereka, yaitu prinsip timbal balik (reciprocity principle). Setiap kerja atau pemberian kepada orang lain selalu dilakukan dengan pengharapan adanya suatu balasan dalam jangka waktu yang singkat atau waktu lama. Dalam prinsip ini tersirat bahwa tidak ada suatu pekerjaan yang dilakukan secara cuma-cuma, kecuali dalam hubungan khusus antara Mom dan Maqaij tadi. Selain itu, setiap orang ingin bebas, tidak mungkin dipaksa untuk ikut atau tidak ikut melakukan sesuatu, misalnya perang. Akan tetapi mereka juga merasa terikat kalau harus melakukan kepentingan kelompok. Perhatian yang besar untuk kepentingan kelompok itu menyebabkan mereka bekerja secara sukarela yang murni. Dalam bidang ekonomi mereka juga mementingkan prinsip persamaan, dalam pandangan mereka tidak ada karya dan miskin. Hubungan individu dengan individu memang terjalin dengan baik, termasuk dengan para pendatang dari luar, yang tentunya ada kaitannya dengan prinsip timbal balik tadi.

Sistem Kepemimpinan Suku Damal

Dalam hal kepemimpinan mereka berprinsip bahwa siapa saja berhak menjadi pemimpin (nagawan). Setiap orang Damal berkeinginan untuk menjadi pemimpin, sehingga di dalam kehidupan mereka tampak ada persaingan untuk menduduki status itu. Namun untuk bisa menjadi pemimpin, seseorang harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain:
  1. Pemimpin (Nagwan) harus ahli dalam hal ekonomi, misalnya yang terkait dengan perladangan, peternakan babi, perdagangan kulit bia, dan ia juga harus banyak membantu pembayaran mas kawin,
  2. Pemimpin harus mempunyai keahlian dalam memanfaatkan kekayaan untuk mengangkat prestise pribadi di mata masyarakat, misalnya bertindak mengambil banyak istri, membuat pesta untuk masyarakat, memberikan pembayaran ganti rugi yang besar kepada anggota federasi yang mati dalam perang,
  3. Pemimpin harus memiliki sifat dermawan (alapme),
  4. Pemimpin harus pandai berbicara dan dapat memanipulasi pemikiran orang banyak, dan ahli serta berani dalam berperang.

Perubahan Sosial Suku Damal

Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 1972, peneliti melihat adanya perubahan-perubahan yang telah terjadi dalam masyarakat Damal ini. Perubahan-perubahan terjadi terutama sejak terdirinya pos Zending CAMA tahun 1956, pos Missi Katolik tahun 1962, dan sebuah pos pemerintah pada tahun 1965. Pada tahun 1957-1959 terjadi perubahan penting ketika mereka meninggalkan ritual-ritual lama dan membakar alat-alat dan barang-barang suci. Kemudian, pada tahun 1962 mereka membuang batu-batu dan obat-obat suci.

CAMA, Missi, dan pemerintah menyelenggarakan pendidikan formal di daerah ini. Pada tahun 1972 telah terdapat enam buah Sekolah Dasar (tiga buah SD Protestan, dua buah SD Katolik, dan sebuah SD Negeri), dua buah Sekolah Persediaan untuk pendeta-pendeta CAMA, dua buah sekolah injil dalam bahasa setempat, dan dua buah sekolah buta huruf untuk orang dewasa dalam bahasa setempat. Di dalam diri mereka sendiri tersimpan potensi untuk berubah dan memperoleh kemajuan. Mereka mempunyai keinginan yang besar untuk memperoleh pendidikan. Anak-anak tampak rajin pergi ke sekolah, walaupun mulai Kelas V dan VI jumlah anak wanita yang bersekolah mulai berkurang. Hal ini mungkin terkait kebiasaan dalam hal perkawinan.

Perubahan lain terlihat dalam bentuk rumah dan pakaian yang mereka gunakan. Para kepala kampung umumnya mempunyai satu atau dua pasang baju dan celana pendek atau panjang. Satu pasang disimpan untuk hari minggu dan untuk acara besar atau rapat, sedangkan yang sepasang lainnya terus menerus dipakai tanpa diganti atau dicuci. Orang Dalam juga sudah amat berhasrat mendapatkan obat-obat untuk luka atau penyakit lainnya dari poliklinik yang dibuat oleh CAMA.

Pihak Missi berusaha memperkenalkan kolam ikan, kelinci, ayam, bebek, dan domba. Pada mereka juga telah diperkenalkan tanaman seperti kol, kentang, bawang, tomat, dan lain-lain. Sekarang setelah lebih dari 20 tahun dari keadaan seperti yang tergambar di atas tentu lebih banyak lagi perubahan yang mereka alami.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa