Indeks Artikel

Sejarah Suku Bawo

Selasa, Desember 22, 2015 21:25 WIB
Suku Dunia ~ Bawo adalah salah satu kelompok kecil dari masyarakat Dayak yang mendiami Provinsi Kalimantan Tengah. Orang Bawo bermukim di desa Bintang Ara dan desa Malungai. Kedua desa ini termasuk wilayah Kecamatan Bintang Awai, Kabupaten Barito Selatan. Desa-desa ini terletak kira-kira 70 mil arah timur laut dari kota Buntok, ibu kota Kabupaten Barito Selatan tadi.
sumber gambar : dayakculture.wordpress.com
Para peneliti menyatakan orang Bawo ini termasuk bagian atau pemecahan dari orang Dayak Lawangan, yang terpisah karena tekanan dari pihak Belanda. Mereka pindah ke arah pegunungan dan kata bawo, yang sekaligus menjadi nama kelompoknya, berarti "gunung" atau "bukit".

Dalam hal bahasa yang dipakai memang ada persamaannya dengan bahasa Lawangan. Namun dalam proses perjalanan waktu bahasa Lawangan dan bahasa yang digunakan oleh orang Bawo tampak semakin berbeda. Dilihat dari sisi lain bahasa Bawo kiranya akan semakin terancam, karena penutur bahasa ini berjumlah relatif sedikit dan kalau mereka berkomunikasi dengan pihak lain tidak menggunakan bahasa Bawo, tetapi menggunakan bahasa Lawangan atau bahasa Indonesia. 

Pada tahun 1985 penutur bahasa Bawo di kedua desa tersebut di atas hanya 315 jiwa. Jumlah itu berdiam di Desa Bintang Ara sebanyak 121 jiwa di antara penduduknya yang berjumlah 126 jiwa, sedangkan yang berdiam di Desa Malungai berjumlah 194 jiwa. Jumlah tersebut merupakan bagian dari penduduk Kecamatan Bintang Awai yang berjumlah sekitar 8.000 jiwa.

Bahasa tadi dipakai oleh mereka sebagai sarana untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam menghadapi lingkungannya, meneruskan nilai-nilai dan satu generasi ke generasi berikutnya.

Nilai-nilai itu diteruskan secara langsung atau melalui, cerita rakyat, nyanyian atau mantra-mantra. Cerita rakyat Bawo ini lebih banyak berupa cerita binatang, seperti pelanduk, rusa dan lain-lain. Nyanyian dan mantra itu disampaikan dalam upacara dalam rangka sistem kepercayaan Kaharingan yang mereka anut. Pesan dalam nyanyian dan mantra itu ditujukan kepada para dewa atau roh-roh nenek moyang, untuk mendapat keselamatan dan berhasil dalam usaha taninya.

Di antara upacara yang dilakukan disebut balian, yang merupakan upacara syukuran dan agar dewa dan roh nenek moyang tidak marah kepada mereka yang hidup. Karena itu mereka menyediakan sesajian bagi dewa dan roh tadi. Balian juga dipakai sebagai sarana untuk mengobati orang yang sakit parah, yang dianggap sebagai kutukan para dewa dan roh nenek moyang.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa