Indeks Artikel

Sejarah Suku Lo'on

Rabu, Juni 29, 2016 09:50 WIB
Suku Dunia ~ Orang Lo'on adalah suatu kelompok sosial yang berdiam di wilayah Kecamatan Balantak, Kabupaten Luwuk Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Mereka hidup tersebar di daerah Poleli, Rurna, Gaube, Binotik, dan Batubiring. Dahulu, kelompok sosial ini konon merupakan bagian dari masyarakat Kerajaan Banggai.


Dengan kedatangan kekuasaan Kerajaan Ternate, sebagian warga Kerajaan Banggai menyingkir ke pedalaman, di antaranya orang Lo'on. Timbulnya nama Lo'on ini berkaitan dengan sikap mereka yang "keras" atau "nakal", yang disebut Lo'on. Pada masa penjajahan Belanda mereka terkenal berani menentang Belanda. Orang Lo'on menggunakan bahasa Banggai, yang dapat dijadikan bukti bahwa dahulu sebagian mereka berasal dari masyarakat Banggai. Sekarang jumlah orang Lo'on tidak diketahui secara pasti.

Pada masa kini, setiap keluarga orang Lo'on umumnya memiliki rumah sendiri. Rumah mereka berbentuk panggung setinggi 1-2 meter di atas tanah, dengan ukuran sekitar 4 x 6 meter. Bahan rumah mereka terdiri atas kayu bulat, pelepah sagu untuk lantai, bambu untuk dinding, dan daun rumbia untuk atap.

Mata pencahariannya bertani ladang dengan sistem berpindah-pindah, meramu sagu, dan berburu binatang. Makanan pokoknya adalah sagu dan beras. Hasil ladang biasanya dijual untuk membeli kebutuhan lain, disuguhkan kepada tamu dari luar seperti pejabat pemerintah, atau dimakan dalam rangka upacara tertentu. Binatang buruannya babi hutan, rusa, dan kadang-kadang ular. Dalam perburuan, mereka menggunakan alat tombak dan dengan bantuan anjing. Hasil buruan itu dikonsumsi sendiri, dibagi kepada para tetangga, atau dijual.

Mereka umumnya masih menganut kepercayaan yang bersifat animistis. Mereka percaya dan memuja roh nenek moyang, serta mempercayai adanya roh baik dan roh jahat. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka menjalankan berbagai upacara. Dalam rangka bercocok tanam di ladang diadakan upacara mintiphuni, yaitu upacara meminta kesuburan kepada Yang Maha Kuasa. Upacara ini dilaksanakan di tengah ladang dan dipimpin oleh bolian (pemimpin keagamaan). Upacara babose adalah upacara syukuran yang dilakukan sesudah panen. Apabila panen kurang baik, upacara itu dilaksanakan selama 1 - 2 hari. Sebaliknya, apabila panen melimpah, upacara itu dilaksanakan secara besar-besaran selama 15 - 30 hari. Dalam upacara ini mereka memotong 4 - 6 ekor babi, 15 - 20 ekor kambing, dan 30 ekor ayam.

Selain itu ada upacara poposai, upacara sumawi, dan upacara dalam rangka daur hidup. Upacara poposai adalah upacara menjaga kampung dari gangguan roh jahat (tombono lipu) dan serangan musuh. Dalam upacara sumawi mereka memohon kepada Tuhan agar dibebaskan dari bencana. Hal ini dilakukan karena pada jaman dahulu daerah mereka pernah terserang air laut sehingga mereka menderita.

Dalam berbagai upacara tersebut diadakan pemotongan hewan. Darah hewan tampaknya dijadikan sarana untuk memohon sesuatu kepada yang gaib. Dalam upacara mintiphuni, darah hewan yang disembelih diteteskan di tengah ladang untuk meminta kesuburan. Dalam upacara poposai, darah hewan diteteskan di pinggiran kampung untuk menangkal masuknya roh jahat dan musuh.

Pihak Departemen Sosial menggolongkan masyarakat ini sebagai "masyarakat terasing". Mereka baru mengenal pendidikan formal sejak tahun 1960-an berkat misi penyebar agama yang masuk ke daerah ini.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa