Indeks Artikel

Mengenal Suku Bentong di Sulawesi Selatan

Sabtu, Mei 06, 2017 15:58 WIB
Suku Dunia ~ Orang Bentong dikenal juga dengan nama To Bentong. Orang Bentong adalah satu kelompok sosial yang mendiami daerah Bulo-Bulo, bagian dari wilayah Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Baca juga : Sejarah Suku Bentong

Daerah ini merupakan daerah berbukit-bukit dengan ketinggian sekitar 400-500 meter di atas permukaan laut, yang ditandai hutan semak, tanah ladang, serta sawah yang tidak begitu luas. Di tahun 1975, daerah ini belum ada sarana jalan, kecuali jalan setapak yang naik turun bukit untuk menghubungkan daerah ini dengan dunia luarnya.


Di tahun 1975, orang Bentong di Bulo-Bulo tercatat berjumlah 934 jiwa, yang tergabung ke dalam 123 KK. Mereka ini merupakan bagian kecil dari keseluruhan penduduk Kecamatan Tanete Riaja yang berjumlah sekitar 35.000 jiwa pada tahun 1990. Mereka berdiam di enam kampung, yakni kampung Kamboti, Tabalaka, Panggalungan, Rumbia, Ketopok, dan Taipabalarasa. Jarak antara satu kampung dan kampung lain dapat diukur dengan menghabiskan waktu 3-4 jam berjalan kaki.

Survey Departemen Sosial (1975), kebanyakan orang Bentong tidak mengetahui dengan pasti asal-usulnya. Namun, bahasa yang digunakan tampak mengandung campuran antara bahasa Bugis dan Bahasa Makassar. Baca juga : Sejarah Suku Makassar

Kelompok yang oleh Departemen Sosial dikategorikan "masyarakat terasing" ini hidup berpindah-pindah tempat, sesuai dengan mata pencaharian ladang berpindah yang mereka lakukan. Mereka bertanam padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu, kacang ijo, dan sayur sayuran. Selain itu, mereka juga berburu dan menangkap ikan serta meramu. Hasil ramuan di hutan adalah damar, rotan, kayu cendana, kayu bakar, dan lain-lain. Peternakan belum diusahakan di daerah ini, meskipun lingkungan mereka sebetulnya cocok untuk usaha ini. Baca juga : Sejarah Suku Bugis

Mereka berdiam dalam rumah yang berdiri di atas tiang atau rumah panggung dengan ketinggian sekitar satu meter di atas tanah, dengan ukuran 4 x 3 meter. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu, lantai dari kayu bulat atau bambu, dan atap dari daun nipah dianyam, tempat air dari kulit labu, periuk dari tanah, lesung dan alu untuk menumbuk padi, senduk nasi dari kayu, alat pengiris ubi, tombak penangkap ikan, tombak untuk berburu, bubu yang dianyam dari bahan bambu, dan lain-lain. Dalam berkesenian, mereka mengenal alat semacam kecapi yang terbuat dari kayu, dan seruling bambu.

Dalam perkawinan mereka mengamalkan adat endogami, artinya mencari pasangan di kalangan kelompok sendiri. Seorang perjaka yang ingin menikah dengan gadis luar kelompoknya diwajibkan menikahi gadis dari kelompoknya sendiri terlebih dahulu. Mas kawin diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan, bisa berupa ladang atau kain. Adat menetap sesudah nikahnya adalah utrolokal, artinya pasangan pengantin baru bisa menetap di lingkungan kerabat suami atau di lingkungan kerabat istri.

Kehidupan orang Bentong diwarnai oleh kepercayaan pemujaan terhadap roh nenek moyang dan benda-benda yang dikeramatkan. Mereka percaya bahwa pemujaan (arajang) akan mendatangkan keselamatan dan harus dilakukan untuk menghindari kutukan. Benda-benda arajang adalah keris, tombak, perisai, payung dan lain-lain, yang dikeluarkan pada saat tertentu. Benda yang dianggap sakti ini dikeluarkan untuk dipuja pada saat pelantikan pimpinan adat, perkawinan, bencana alam, dan peristiwa lain yang dianggap penting. Pemujaan lain dilakukan terhadap pantansa, yaitu rumah-rumahan kecil yang berwarna kuning sebagai lambang dewa. Berbagai upacara juga dilakukan pada saat penebaran bibit padi dan masa panen di ladang. Upacara itu  dipimpin oleh pinati atau dukun yang berperan sebagai perantara manusia dengan roh nenek moyang. Pada masa terakhir ini, mereka telah beragama Islam. Upacara perkawinan dan penguburan telah disesuaikan dengan hukum Islam. Walaupun demikian unsur kepercayaan asli tadi masih tampak bertahan juga.

Sumber : Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia oleh M. Junus Melalatoa