Dalam sejarah Gunung Agung pernah empat kali meletus, yakni pada tahun 1808, 1821, 1843, dan 1963. Namun semua letusan tersebut tidak mengganggu dan merusak Pura Besakih.
Pura Besakih bagi masyarakat Bali menjadi tempat upacara pemujaan bagi sang pencipta. Karena masyarakat Hindu Bali percaya pura terbesar ini sebagai tempat keramat yang disucikan.
Untuk menuju puncak Gunung Agung para pendaki bisa mencapai dengan lewat dua jalur populer, yakni Pura Besakih dan Pura Pasar Agung.
Selain itu jika warga ada yang meninggal, ada pendaki yang tersesat atau hilang di puncak Gunung Agung biasanya dilakukan terlebih dahulu ritual atau upacara di Pura Besakih atau Pura Pasar Agung.
Selain itu terdapat sumber mata air selama pendakian dari Pura Besakih ke Gunung Agung yang dianggap suci oleh masyarakat setempat. Namun tidak boleh sembarangan orang yang mengambilnya. Jika ada yang mau mengambil harus bersembahyang terlebih dahulu.
Terdapat banyak upacara adat yang dilakukan di Pura Besakih dan pura lainnya di kaki Gunung Agung. Salah satunya upacara Eka Dasa Rudra.
Upacara tersebut dilaksanakan setiap 100 tahun sekali di Pura Besakih sebagai pura terbesar di Bali yang diadakan untuk menyambut perhitungan perputaran tahun saka saat satuan dan puluhan mulai menjadi angka 1 (satu).
Dimana setelah dilakukan upacara tersebut diyakini akan menyelamatkan dunia dari kehancuran termasuk dari letusan Gunung Agung.
Ritual Eka Dasa Rudra ini pernah diadakan pada tahun 1963 di Pura Besakih. Upacara Eka Dasa Rudra digelar bersamaan dengan terjadinya erupsi di Gunung Agung. Meski begitu upacara tetap digelar seperti yang direncanakan. Dimana sekitar 10.000 orang menghadiri upacara tersebut pada 8 Maret 1963, termasuk gubernur, para kepala pemerintah daerah, dan tokoh-tokoh Bali yang terkemuka lainnya.
Pada hari-hari setelah itu, sekitar 5.000 orang datang ke Pura Besakih walaupun terjadi hujan debu dan kerikil yang disemburkan gunung api. Ritual di Besakih terus digelar hingga 15 Maret, hanya dua hari sebelum letusan besar pertama terjadi.
Sehingga walau terjadi erupsi yang menyebabkan letusan dahsyat pada pertengahan Maret 1963 dan banyak korban berjatuhan serta meninggal. Tetapi Pura Besakih ini seperti tidak tersentuh sama sekali karena walaupun terjadi letusan dahsyat tetapi Pura Besakih tidak mengalami kerusakan yang berarti.
Sepanjang masa letusan, bangunan dan tempat-tempat suci di Pura Besakih itu hanya mengalami kerusakan kecil. Warga yang berdoa di sana pun selamat. Bahkan, saat letusan besar pertama terjadi, Pura Besakih seperti tak tersentuh. Demikian pula pada letusan besar kedua pada 16 Mei 1963.
Pura ini lalu menjadi sorotan dunia karena berhasil selamat dari erupsi dahsyat Gunung Agung pada 1963. Sehingga UNESCO menobatkan sebagai warisan budaya.
Para pangemong dan pemangku di Pura Besakih saat terjadi erupsi pada awal September 2017 tetap meyakini kalaupun terjadi erupsi Gunung Agung tidak akan berimbas ke Pura Besakih. Mereke meyakini jika terjadi erupsi sekalipun juga tidak akan menyentuh benda-benda suci yang disakralkan di kawasan pura terbesar di Bali tersebut.
Hal ini kemudian kebetulan terbukti dimana walaupun Gunung Agung statusnya ditingkatkan dari Siaga menjadi Awas sejak 22 September 2017 karena terjadi peningkatan aktivitas vulkanologi. Namun akhirnya Statusnya kembali diturunkan menjadi Siaga pada Minggu 29 Oktober 2017 lalu.
Selain itu disaat warga Karangasem dan sekitarnya mengungsi ke beberapa kabupaten di sekitarnya, namun aktivitas di Pura Besakih yang notabene berada di lereng Gunung Agung tetap berjalan seperti biasa. Upacara pun tetap digelar walaupun di tengah ancaman erupsi dan awan panas yang sewaktu-waktu bisa terjadi karena memang wilayah Pura Besakih termasuk dalam Zona Merah.
Konon dulu, tempat sebelum dibangunnya Pura Besakih hanya terdapat kayu-kayuan dalam sebuah hutan belantara. Sebelum adanya selat Bali (Segara Rupek) Pulau Bali dan Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau ini bernama Pulau Panjang atau Pulau Dawa. Di suatu tempat di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (Gunung Raung) ada seorang pertapa yang bernama Resi Markandeya. Karena ketinggian ilmu batinnya, kesucian rohaninya, serta kecakapan dan kebijaksanaan maka oleh rakyat, diberi julukan Bhatara Giri Rawang.
Pada mulanya Resi Markandeya bertapa di Gunung Demulung, kemudian pindah ke Gunung Hyang (konon Gunung Hyang itu adalah Dieng di Jawa Tengah). Sekian lamanya bertapa di sana, mendapat petunjuk dari Sang Maha Pencipta agar dia dan para pengikutnya membabat alas hutan di Pulau Dawa. Setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.
Demikianlah kemudian dia berangkat ke Tanah Bali disertai pengikutnya yang pertama yang berjumlah 8.000 orang dengan perlengkapan dan peralatan yang diperlukan. Sesampainya ditempat yang dituju, dia memerintahkan pengikutnya agar mulai membabat alas hutan. Akan tetapi saat membabat hutan, banyak para pengiring resi banyak yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas.
Kemudian dia memerintahkan pengikutnya untuk menghentikan kegiatan tersebut. Dengan hati yang sedih sang resi kemudian mengajak pengikutnya untuk kembali ke Jawa. Dia kembali ketempat pertapaannya semula untuk mohon petunjuk kepada Sang Maha Pencipta. Setelah beberapa lamanya dia berada di pertapaannya, timbul cita-citanya kembali untuk melanjutkan pembabatan hutan tersebut.
Pada suatu hari yang baik, dia kembali berangkat ke tanah Bali. Kali ini mengajak pengikutnya yang kedua berjumlah 4.000 orang yang berasal dari Desa Aga yaitu penduduk yang mendiami lereng Gunung Rawung .
Turut dalam rombongan itu para pandita atau para resi. Para pengikutnya membawa perlengkapan beserta alat-alat pertanian dan bibit tanaman untuk ditanam di tempat yang baru.
Setelah tiba di tempat yang dituju, Resi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para resi lainnya dan mempersembahkan upacara Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan pembabatan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara.
Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.
Ditempat bekas dimulainya perambasan hutan itu oleh Sang Resi Markandya menanam kendi berisi air disertai lima jenis logam yaitu, emas, perak, tembaga, perunggu dan besi yang disebut Panca Datu dan Permata Mirahadi (mirah yang utama) dengan disertai sarana upakara selengkapnya dan diperciki air suci yang telah didoakan.
Tempat menanam lima jenis logam itu diberi nama Basuki yang artinya selamat. Ditempat itu kemudian didirikan palinggih. Lambat laun di tempat itu kemudian didirikan pura yang diberi nama Pura Basukian. Pura inilah cikal-bakal berdirinya pura–pura yang lain di Kompleks Pura Besakih. Pembangunan pura di tempat itu konon dimulai sejak Isaka 85 atau tahun 163 Masehi.